Tuesday, June 09, 2009

Beragama Secara Moderat

sumber : http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A755_0_3_0_M
Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar. (QS. Lukman: 32)
Agama adalah jalan hidup. Beragama dalam Islam merupakan proses memaknai hidup dengan tuntunan syariat Islam yang benar. Perlunya beragama adalah supaya manusia hidup dengan tenang, aman, sejahtera dan selamat di dunia dan akhirat. Beragama tidak menjadikan umatnya susah dan frustasi. Hanya mereka yang ekstrim beragamalah yang menjadikan seolah beragama itu berat dan susah. Karena itu, beragama hendaklah memilih jalan yang seimbang dan moderat.
Menurut Dr. Muhammad Az-Zuhaili bahwa moderat atau “Al-Iqtishad” bermakna tengah-tengah, seimbang, istiqamah, adil, mudah dalam segala urusan, serta mengambil jalan pertengahan. Orang moderat (Muqtashi) adalah orang yang seimbang dan menempuh jalan yang lurus, seperti dalam firman-Nya: “Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus.”(QS. Luqman: 32).
Maksud dari kata “muqtashid” dalam ayat di atas adalah mu’tadil yaitu orang yang menempuh jalan lurus atau seimbang dan tidak condong pada hal yang melampaui batas ataupun pemborosan. Sebagaimana firman-Nya: “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil, dan (Alquran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka (ahl al-Kitab) ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS. al-Ma’idah: 66).
Maksud dari ayat di atas adalah orang yang berlaku jujur dan lurus serta tidak menyimpang dari kebenaran. Demikianlah kata al-Iqtishad (moderat) dalam Islam yang secara bahasa dipergunakan untuk menunjukkan perbuatan yang tidak berlebih-lebihan dan membangun keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Jadi al-iqtishad adalah moderat dalam beragama dan pertengahan dalam hukum-hukumnya. Sedangkan, dalam pengamalannya ia mengambil jalan tengah antara berlebihan dan hal yang ringan, atau pertengahan antara sesuatu yang melampaui batas dan meremehkan.
Moderat dalam beragama adalah tenang, seimbang dan konsisten serta mengambil jalan tengah dalam semua urusan agama tanpa melebihkan atau menambah dan juga tanpa mengurangi atau mengabaikan. Menurut Ar-Rhaghib al-Ashbahani, moderat terbagi menjadi 2 bagian. Pertama adalah moderat yang terpuji. Dalam hal ini terdapat dalam dua sisi yaitu berlebihan dan kurang. Seperti sifat dermawan, hal itu terletak antara pemborosan dan kikir, dan juga seperti sifat keberanian yaitu sifat antara sembrono, penakut dan sebagainya. Selaras dengan maksud ini adalah firman Allah Swt yang berbunyi: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. al-Furqan: 67).
Kedua adalah kemoderatan antara terpuji dan tercela, yaitu hal yang terdapat antara terpuji dan tercela. Seperti realitas antara keadilan dan kesewenang-wenangan atau antara dekat dan jauh. Awal kemoderatan dalam beragama adalah bersumber dari ajaran Islam yang lurus dan benar dan sesuai dengan fitrah manusia. Islam diturunkan tidak hanya mengajarkan tentang keimanan dan Aqidah, hal-hal ghaib dan sesuatu yang ada di balik alam ini. Lebih dari itu, Islam mengajarkan manusia tata cara berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia, alam dan dirinya. Ketentuan ini tersusun dengan adil dan bijak, sehingga tidak terdapat hal yang berlebihan dan keluar batas. Islam juga menyerukan keseimbangan antara ruh, jasad, dan akal. Islam juga mensyariatkan untuk menegakkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah Swt: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah Swt kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah, kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. al-Qashash: 77). Hal ini juga sejalan dengan hadits Nabi: “Orang yang terbaik di antara kalian bukanlah orang yang meninggalkan akhiratnya demi dunianya, juga bukan pula orang yang meninggalkan urusan dunianya demi akhiratnya.” (HR ad-Dailami dan lbnu Asakir).
Islam telah mengharamkan umatnya bersikap seperti pendeta atau biarawan yang melepaskan diri dari urusan dunia dan mengasingkan diri dari manusia lainnya. Islam menegaskan keseimbangan dalam hal yang berkaitan dengan insting dan watak manusia yang beraneka ragam, untuk kemudian mengarahkan perasaan emosionalnya pada arah yang benar; menjalani hidup sesuai dengan tuntutan Allah dan mengabdikan diri pada masyarakat. Islam juga mengatur dan menganjurkan keseimbangan antara individu manusia dengan masyarakat sekitarnya, dengan jalan menguatkan hubungan yang erat dan harmonis antara rakyat dengan pemerintah, dengan menjelaskan hak-hak mereka.
Allah Swt telah memilih umat ini menjadi umat penengah antara umat-umat yang lain, adil dalam setiap perbuatannya, dan menjadi saksi bagi orang lain. Juga menjadi pembawa risalah akhir yang diridhai Allah Swt bagi seluruh hamba-harmba-Nya, yang diturunkan dan langit ke muka bumi ini, sebagaimana firman Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu umat wasathan (yang moderat) kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. al-Baqarah: 143).
“Pembumian” konsep ummatan wasathan (umat moderat) dapat ditelusuri jari jejak kehidupan Rasulullah Saw, bagaimana beliau melewati hari demi hari bersama masyarakat dalam rangka membangun peradaban yang tauhid, bekerja keras dan ulet untuk membiayai kebutuhan keluarganya, dan sujud kepada Allah Swt sebagai ungkapan rasa syukur atas segala karunia-Nya. Keberhasilan Rasulullah Saw dibangun diatas fondasi sikap keberagamaan yang moderat. Nabi Saw bersabda, “Ada satu perkara di antara dua perkara yaitu sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.” (HR. Baihaqi). Seorang ahli hikmah berkata, “Sebaik-baik perkara adalah pertengahan, sedang sejelek-jelek perkara adalah yang berlebih-lebihan.” Seorang penyair Arab yang bernama Zuhair bin Abi Salina memuji suatu kaum, “Bersikaplah seimbang, niscaya manusia rela pada keputusannya Jika kau datang di suatu malam dengan keagungan.”
Dengan demikian, menempuh jalan tengah, lurus, dan moderat dalam segala urusan merupakan sikap yang terpuji. Guna menghindarkan diri dari sikap berlebihan atau kekurangan, terlalu keras atau terlalu lunak, dan bersikap keras. Sikap keberagamaan yang moderat selaras dengan fitrah manusia karena manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang lemah, diciptakan dari partikel lemah, raganya juga terbentuk dari bahan yang lemah.
Pada masa Rasulullah Saw, seorang sahabat yaitu Abdullah bin Amru bin ‘Ash minta izin pada Rasulullah untuk berpuasa terus menerus tanpa henti di masa mudanya, tetapi Rasulullah melarangnya. Namun, karena ia terus memohon dan mengiba dengan alasan bahwa ia sangat mampu dan sanggup melaksanakannya. Akhirnya Rasulullah mengizinkannya untuk berpuasa dengan cara sehari puasa dan sehari tidak. Ketika ia telah menginjak masa tua, ia menyesal seraya berkata, “Seandainya aku menerima rukhshah (keringanan) yang diberikan Rasullullah.” Bahkan, Rasulullah pernah memperingatkannya sebagaimana dalam hadits yang ia riwayatkan sendiri.
Tepatlah kiranya, jika kemoderatan dan keseimbangan menjadi kebaikan dan keistimewaan. Hal ini dapat menjauhkan seseorang dari hal yang berlebihan dan kekurangan. Juga dapat meyelamatkannya dari bahaya berlebihan dan kekurangan yang terkadang dapat menjerumuskan seseorang pada kekafiran, kemusyrikan, dan kehancuran baik di dunia maupun akhirat.
Sesungguhnya berlebihan dalam agama dan menganggap ringan hukum-hukumnya adalah dua penyakit yang berbahaya. Penyakit ini berkembang sampai ke dalam jiwa dan dapat menimbulkan sumber-sumber kehinaan. Sesungguhnya setanlah yang berada di balik semua kehinaan itu. Karena itu, hendaklah kita takut kepada Allah Swt dari segala perbuatan ekstrim dan melampaui batas.
Islam memperingatkan umatnya untuk menjaga diri dan memilih jalan yang moderat, agar kita selamat. Baik dalam akidah, ibadah, maupun dalam pergaulan dan tingkah laku. Janganlah kita putuskan hubungan dengan Tuhan walaupun hanya sesaat. Begitu juga hendaklah kita jaga hubungan dengan manusia di sekitar kita. Semoga dengan beragama secara moderat ini, kita akan hidup dengan tenang, damai, sejahtera dan selamat di dunia dan di akhirat. Wallahualambishawab.
Penulis adalah Rahimi Sabirin, mahasiswa Ilmu Politik Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI)